EKSPOSTIMES.COM- Di tengah padang gurun yang gersang, di antara tenda-tenda yang rapuh dan langkah-langkah kaki yang letih, sebuah mahakarya kudus sedang dibentuk. Di tangan Bezaleel, seorang ahli yang dipenuhi Roh Allah, potongan kayu penaga yang biasa menjelma menjadi sesuatu yang luar biasa, Tabut Perjanjian.
Ini bukan sekadar kotak. Ini bukan hanya perabotan. Ini adalah takhta Sang Raja. Tak terlihat megah bagi mata dunia, namun bagi Israel, inilah pusat segalanya.
Kemah suci dibangun, ruang demi ruang ditata dengan sempurna, semua untuk satu tujuan: menjadi tempat bersemayamnya Allah. Dan pusat dari semuanya adalah tabut itu sebuah simbol kekal tentang hadirat ilahi yang memilih tinggal di antara umat-Nya.
Baca Juga: Renungan | Kasih Sejati yang Memulihkan, Kejadian 44:1–34
Di atasnya terdapat dua kerub emas, sayap mereka terbentang dan wajah mereka menunduk, seakan memahami betapa kudusnya hadirat yang akan menetap di antara mereka.
Di bawah naungan sayap itu, ada tutup pendamaian, penutup sakral dari takhta surgawi yang menjelma dalam bentuk materi. Di bawahnya, akan diletakkan dua loh batu yang berisi suara Allah sendiri sepuluh firman yang tak lekang oleh waktu.
Di balik semua ornamen dan detil rumit, ada pesan yang menggema hingga hari ini: Allah hadir. Allah memerintah. Allah menuntut kesetiaan.
Tabut itu tidak hanya menyimpan hukum, ia menyimpan perjanjian. Ia adalah pengingat bahwa Allah telah mengikat diri-Nya dengan umat-Nya. Ia tidak akan membatalkan janji-Nya, sebab janji itu ditopang oleh karakter-Nya yang sempurna.
Namun pada saat yang sama, umat tidak bisa bermain-main dengan hukum-Nya. Tidak ada ruang untuk kelonggaran, apalagi kelicikan. Hukum itu kudus, sebab Sang Pemberi hukum adalah kudus.
Namun semuanya ini hanyalah bayangan dari sesuatu yang lebih besar, Yesus Kristus. Dia adalah kemuliaan Allah yang menjelma. Dia adalah tabut sejati. Di dalam Dia, seluruh kepenuhan ilahi berdiam. Jika tabut terbuat dari kayu dan emas, Kristus adalah daging dan darah. Dia tinggal di antara kita, bukan di ruang mahakudus, tapi dalam hati orang-orang percaya.
Melalui Kristus, Allah tidak lagi hanya bersemayam di tengah-tengah umat secara simbolik. Ia hadir secara nyata, menjamin keselamatan, meneguhkan janji, dan menuntun setiap langkah. Namun seperti halnya tabut yang kudus, Kristus pun menuntut keseriusan dari kita. Ia menuntut hidup yang pantas bagi takhta-Nya.
Maka kini, pertanyaannya bukan lagi “Apakah Allah hadir?” Tapi
“Apakah hidupku layak menjadi tempat-Nya bersemayam?”
Apakah kita menyadari bahwa hidup ini bukan milik kita, melainkan milik Raja yang kudus? Apakah kita mengizinkan hukum-Nya menata langkah kita, ataukah kita tetap mengandalkan cara kita sendiri?
Allah yang duduk di takhta-Nya tidak berubah. Yang berubah adalah di mana Dia kini bersemayam bukan lagi di tabut kayu, tetapi dalam hidupmu dan hidupku. Dan takhta itu menuntut kekudusan, bukan basa-basi rohani. (*/Rizky)