EKSPOSTIMES.COM- Perkembangan teknologi digital telah melahirkan banyak perusahaan rintisan (startup) dan lembaga keuangan berbasis teknologi (financial technology atau fintech) yang mengubah wajah perekonomian Indonesia. Namun, kemajuan ini juga membawa tantangan baru di ranah hukum, khususnya dalam hal kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).
Hal tersebut disampaikan oleh Dekan Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH UKI), Dr. Hendri Jayadi Pandiangan, SH., MH., dalam kuliah umum bertajuk “Masa Depan Hukum Kepailitan Indonesia di Tengah Gelombang Startup dan Fintech” yang digelar di Universitas Pakuan, Bogor, Selasa (7/10/2025).
Menurut Hendri, permasalahan hukum yang muncul ketika startup atau fintech mengalami kebangkrutan jauh lebih kompleks dibandingkan dengan perusahaan konvensional. Hal itu karena sebagian besar perusahaan digital tidak memiliki aset fisik yang bisa disita sebagai jaminan bagi kreditur.

“Cukup rumit mengurus startup yang pailit. Rata-rata mereka menjual jasa berbasis teknologi dan tidak memiliki aset nyata. Padahal, dalam UU Kepailitan, aset debitur adalah kunci utama yang dapat disita untuk membayar utang,” ujarnya.
Ia mencontohkan, dalam sistem kepailitan, seluruh harta debitur menjadi objek sita umum. Namun, bila perusahaan digital hanya memiliki sistem, perangkat lunak, atau hak intelektual tanpa properti fisik, maka pelaksanaan sita umum menjadi sulit dilakukan.
“Teknologi yang dimiliki perusahaan seharusnya bisa diakui sebagai aset. Begitu juga dengan merek, paten, atau algoritma. Di banyak negara maju, intellectual property diakui sebagai bagian dari aset perusahaan pailit. Sayangnya, di Indonesia konsep ini belum diterapkan,” tambahnya.
Hendri menilai, revisi terhadap UU Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU menjadi langkah mendesak agar hukum nasional tidak tertinggal oleh perkembangan zaman. Ia menegaskan, pengertian “aset” dalam UU tersebut perlu diperluas, termasuk mencakup software, data base, dan sistem digital yang bernilai ekonomi.
Tak hanya soal aset, Hendri juga menyoroti definisi “utang” dalam konteks perusahaan teknologi. Banyak fintech berperan sebagai perantara transaksi pinjaman antara masyarakat dan pemberi dana. Namun ketika platform ini gagal bayar atau pailit, posisi hukum kreditur seringkali kabur.
“Bagaimana jika kreditur di perusahaan fintech mengalami kerugian? Siapa yang bertanggung jawab bila mereka tidak memiliki aset nyata? Semua ini perlu diperjelas agar hak-hak kreditur tetap terlindungi,” tegasnya.
Hendri menutup paparannya dengan menegaskan pentingnya pembaruan hukum kepailitan yang adaptif terhadap perkembangan era digital.
“Prinsip utama kepailitan adalah keadilan dan perlindungan terhadap kreditur. Maka, hukum harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika teknologi agar tidak ada pihak yang dirugikan,” tandasnya. (Lian)












