EKSPOSTIMES.COM– Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengungkapkan bahwa hingga saat ini masih ada sekitar 300 terpidana mati yang belum menjalani eksekusi. Ia menyoroti berbagai kendala dalam pelaksanaan hukuman tersebut, terutama jika terpidana merupakan Warga Negara Asing (WNA).
“Saat ini ada hampir 300 orang yang sudah divonis mati, tetapi eksekusinya belum bisa dilaksanakan,” ujar Burhanuddin dalam pernyataannya di Kejaksaan Tinggi Jakarta, Kamis (6/2/2025).
Menurutnya, sebagian besar WNA yang dijatuhi hukuman mati terkait dengan kejahatan narkotika. Namun, penolakan dari negara asal mereka sering kali menjadi hambatan utama dalam eksekusi.
Burhanuddin menjelaskan bahwa beberapa negara menyatakan keberatan jika warganya dihukum mati di Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri terus melakukan koordinasi intensif untuk mencari solusi.
Namun, negosiasi ini tidak mudah. Burhanuddin mengungkapkan bahwa saat Retno Marsudi masih menjabat sebagai Menteri Luar Negeri, eksekusi terhadap WNA sempat tertunda karena pertimbangan diplomatik.
“Kami sempat berdiskusi dengan Ibu Retno. Saat itu beliau meminta agar eksekusi ditunda karena bisa berdampak pada posisi Indonesia dalam keanggotaan organisasi internasional. Jika kita melaksanakan eksekusi, ada risiko tekanan besar dari komunitas global,” jelasnya.
Selain faktor diplomatik, Burhanuddin juga menyoroti potensi konsekuensi bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang menghadapi hukuman mati di luar negeri.
“Saya pernah bertanya, bagaimana jika kita mengeksekusi WNA dari China? Kebetulan di sana hukuman mati masih berlaku. Apa jawab Menteri Luar Negeri saat itu? ‘Kalau kita eksekusi mereka di sini, maka warga kita yang menghadapi hukuman mati di sana juga bisa dieksekusi’,” ungkapnya.
Hal ini menjadi dilema tersendiri bagi pemerintah Indonesia. Di satu sisi, aparat penegak hukum sudah berusaha memperjuangkan hukuman mati bagi pelaku kejahatan berat, tetapi di sisi lain, eksekusi sulit dilakukan karena faktor politik dan diplomasi.
“Capek-capek kita menuntut hukuman mati, tetapi akhirnya tidak bisa dilaksanakan. Ini memang problem besar bagi kita,” pungkas Burhanuddin.
Dengan situasi yang kompleks ini, masa depan pelaksanaan hukuman mati di Indonesia masih menjadi perdebatan, terutama terkait dengan kepentingan hukum domestik dan hubungan internasional. (red)













