EKSPOSTIMES.COM- Di balik gemerlap penghargaan dan label “terbaik se-Sulut”, proyek Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (PAMSIMAS) di Desa Wasian, Kecamatan Kakas Barat, justru menyisakan bau amis dugaan penyimpangan dana desa dan indikasi pemborosan anggaran.
Tak tanggung-tanggung, proyek yang menggelontorkan anggaran hingga Rp400 juta lebih, termasuk Rp29 juta dana desa tahun 2019, itu kini menjadi monumen gagalnya program air bersih dan matinya pengawasan.
“Ini 2019 memang ada dana desa masuk untuk tahap awal. Rp29 juta,” aku Steven, pengurus PAMSIMAS, Senin (24/6/2025).
Sayangnya, yang tersisa di lapangan bukanlah air bersih untuk warga, melainkan keran-keran kering, pipa-pipa mati, bak penampung berlumut, dan air keruh berbau tak layak konsumsi.
“Yang kami terima cuma janji manis dan instalasi kosong. Sampai sekarang, keran tetap kering, harapan kami dikubur!” keluh seorang warga geram.
Kata Steven, proyek PAMSIMAS Wasian sempat jadi kebanggaan. Dengan didampingi DPMU dan fasilitator kabupaten, proyek ini diganjar penghargaan sebagai pembangunan fisik terbaik se-Sulawesi Utara.
Namun setelah konstruksi rampung dan uji coba air berjalan selama 4 bulan, tidak satu pun warga bersedia berlangganan, meski hanya dikenakan iuran Rp15.000 per bulan. Tanpa pemasukan dan tanpa sokongan dana operasional, proyek pun tutup keran secara permanen.
“Kami hentikan karena tak ada biaya operasional. Tak ada warga daftar, dan listrik tidak ditanggung,” kata Steven.
Dan, saat dilakukan uji laboratorium ulang dua bulan setelah proyek mati, hasilnya justru memalukan: air tercemar, bau, dan tak layak minum.
Proyek yang digadang-gadang menyelamatkan warga dari krisis air ini justru memunculkan pertanyaan tajam: ke mana aliran dana ratusan juta rupiah itu mengalir?
Sebagian dana disebut berasal dari APBN, sebagian dari dana desa, dan sisanya berupa swadaya warga seperti kerja bakti dan bahan bangunan. Namun fakta di lapangan tak mencerminkan nilai yang disebutkan.
Pihak pengurus mengklaim telah berusaha memperbaiki kualitas air dengan membuat saringan, pengeboran ulang pakai dana swadaya, hingga kolaborasi dengan mahasiswa KKN Unsrat. Tapi semua upaya mentok.
Sementara itu, pihak dinas terkait disebut cuek dan tak menanggapi permohonan bantuan teknis.
“Air tanah di wilayah sini memang tercemar sejak kedalaman 30 meter ke bawah,” jelas Steven pasrah.
Lucunya, sebagian anggaran juga disebut habis untuk sosialisasi ke sekolah, rumah Hukum Tua, hingga Puskesmas. Bahkan untuk pembuatan wastafel dan promosi pola hidup bersih sehat (PHBS).
Tapi, apa artinya kampanye cuci tangan jika air bersih saja tak pernah mengalir ke rumah warga?
Kemarahan warga memuncak. Mereka kini menuntut aparat penegak hukum, Kejaksaan, Kepolisian, hingga KPK, mengusut tuntas aliran dana PAMSIMAS Wasian, mulai dari keterlibatan fasilitator kabupaten hingga peran pihak ketiga dalam pengerjaan fisik.
“Kami tak ingin ini jadi preseden buruk. Uang negara harus kembali, dan kalau ada yang bermain, harus dihukum!” tegas masyarakat, sembari menegaskan bahwa air pada proyek yang konon katanya terbaik se-Sulut ini memang sudah berbau sejak pertama disalurkan ke masyarakat, untuk itu tidak ada yang berani pakai apalagi sampai menghabiskan uang walau hanya Rp15.000 per bulan.
Proyek ini kini tak lagi jadi kebanggaan, tapi aib pembangunan desa. Alih-alih memberi solusi, ia berubah jadi simbol kelalaian, kelemahan pengawasan, dan kemungkinan permainan anggaran. (tommy)