EKSPOSTIMES.COM- Krisis ekologis serius menghantam Kepulauan Sangihe. Penelitian terbaru Politeknik Negeri Nusa Utara (Polnustar) bersama Greenpeace Indonesia mengungkap peningkatan drastis pencemaran logam berat di perairan Sangihe. Fakta ini bukan sekadar merusak ekosistem laut, tetapi juga menghantam ketahanan pangan dan kesehatan masyarakat.
Pulau Sangihe yang berada di jantung segitiga terumbu karang dunia dikenal sebagai kawasan dengan keanekaragaman hayati laut terkaya. Namun, posisinya sebagai kawasan ekologis penting kini terancam oleh masifnya aktivitas pertambangan emas. Data menunjukkan, antara 2015-2021 terjadi alih fungsi lahan tambang hingga 45,53 persen.
Bukit-bukit yang dibabat paksa membuat material beracun masuk cepat ke laut melalui aliran runoff.
Uji laboratorium di Teluk Binebas menemukan konsentrasi logam berbahaya jauh melampaui baku mutu. Arsen (As) mencapai 0,0228 mg/L (standar: 0,012 mg/L), sementara Timbal (Pb) 0,0126 mg/L (standar: 0,008 mg/L). Padahal, dokumen AMDAL PT Tambang Mas Sangihe (TMS) tahun 2017-2020 mencatat kadar arsen masih di bawah 0.0003.
Kerusakan pun sudah nyata. Mangrove mati, terumbu karang memutih, dan ekosistem pesisir lumpuh.
“Temuan ini adalah alarm keras. Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap ancaman sistematis ini,” tegas Afdillah, Juru Kampanye Laut Greenpeace Indonesia, Rabu (1/10).
Pencemaran tak berhenti di laut. Sampel ikan layang, sumber protein utama masyarakat, terbukti mengandung merkuri, arsen, dan timbal. Merkuri yang berubah menjadi metilmerkuri dikenal sebagai racun berbahaya yang dapat merusak otak, menembus plasenta, hingga mengancam janin.
Analisis risiko menunjukkan balita di Sangihe berpotensi menerima paparan merkuri harian hingga empat kali lipat di atas batas aman.
“Ini krisis kesehatan publik. Anak-anak kita dipaksa mewarisi racun dari laut,” kata Prof. Dr. Ir. Frans G. Ijong, M.Sc, peneliti Polnustar.
Kondisi sosial-ekonomi pun kian terpuruk. Laporan EcoNusa dan PKSPL IPB mencatat hasil tangkapan ikan di Sangihe anjlok 69,04 persen sejak maraknya tambang, dengan penurunan pendapatan nelayan rata-rata 27,3 persen.
Di sisi lain, pekerja tambang jauh dari kata sejahtera. Banyak di antaranya bekerja tanpa kontrak, tanpa perlindungan hukum, dan terjerat sistem bagi hasil yang merugikan. Alih-alih sejahtera, mereka justru terjebak utang.
Polnustar dan Greenpeace mendesak pemerintah pusat maupun daerah untuk menghentikan aktivitas tambang di Sangihe, sesuai amanat UU No. 1/2014 yang melarang tambang di pulau kecil. Mereka juga merekomendasikan moratorium izin tambang baru, rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, pemeriksaan kesehatan masyarakat, serta penetapan Sangihe sebagai kawasan lindung darat-laut.
“Sangihe adalah kawasan ekologis unik dan tak tergantikan. Jika pemerintah terus abai, maka laut, pangan, hingga generasi Sangihe akan hilang demi kepentingan segelintir pihak,” tutup Ijong. (len)